AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM
BIDANG KESENIAN 1 (ARSITEKTUR)
BAB I
PENDAHULUAN
Kebudayaan
dibangun oleh masyarakat dengan pemikiran yang abstrak tentang apa yang penting
dan bernilai dalam hidupnya. Kebudayaan menjadi
pedoman hidup baik itu tindakan maupun sikap, melalui proses
penyamaan pandangan masyarakat atas pendapat pribadi. Pedoman hidup
tersebut disetujui bersama dan kemudian menjadi latar
kebudayaan. Jawa sebagai daerah yang memegang teguh kebudayaannya telah
mempertahankan apa yang diyakininya tapi tidak menutup diri
atas segala sesuatu yang baru untuk membangun kekayaan budaya yang
dimilikinya, misalnya mereka tidak menutup diri akan masuknya Agama Islam.
Perkembangan Agama Islam di Jawa semakin hari semaki
pesat. Penyebaran tersebut
tak lepas dari pengaruh akulturasi budaya, khususnya dengan budaya lokal.
Akulturasi ini merupakan manifestasi dari pengaruh peradaban dan budaya yang
begitu mendominasi masyarakat Jawa pada saat itu. Bahkan, pada hampir semua
tatanan sosial masyarakat, budaya dan peradaban menjadi objek akulturasi ini.
Hingga para penyebar agama Islam di tanah Jawa memilihnya sebagai ruang untuk
mentransformasikan budaya asli (lokal) ke dalam nilai-nilai Islami. Peradaban masyarakat
jawa yang tinggi diperlihatkan dan dibuktikan oleh seni arsitektur yang mereka
bangun, seperti seni arsitektur pada makam-makam dan masjid-masjidnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Seni
Arsitektur
Djauhari Sumintardjo mengemukakan tentang pengertian
arsitektur bahwa arsitektur merupakan sesuatu yang dibangun manusia untuk
kepentingan badannya (melindungi diri dari gangguan) dan kepentingan jiwanya(kenyamanan,
ketenangan, dan lain-lain).[1] Arsitektur Islam adalah
sebuah karya seni bangunan yang terpancar dari aspek fisik dan metafisik
bangunan melalui konsep pemikiran islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah
Nabi, Keluarga Nabi, Sahabat, para Ulama maupun cendikiawan muslim.[2] Aspek Fisik adalah sesuatu yang nampak
secara jelas oleh panca indera. Dalam hal ini sebuah bangunan dengan fasade
yang memiliki bentuk dan langgam budaya islam dan dapat dilihat secara jelas
melalui beberapa budaya, seperti budaya arab, cordoba, persia sampai
peninggalan wali songo. Bentuk fisik yang biasa diterapkan dalam sebuah
bangunan sepetri penggunaan kubah, ornamen kaligrafi, dan sebagainya. Aspek Metafisik adalah sesuatu yang tidak
tampak panca indera tapi dapat dirasakan hasilnya. Hal ini lebih kepada efek
atau dampak dari hasil desain arsitektur islam tersebut, seperti bagaimana
membuat penghuni/ pengguna bangunan lebih nyaman dan aman ketika berada didalam
bangunan sehingga menjadikan penghuni merasa bersyukur. Contoh lain hasil
desain ruang-ruang dalam sebuah rumah, bisa menjadikan komunikasi orangtua dan
anak lebih dekat, sehingga membuat mereka rajin beribadah.
B.
Akulturasi
Islam dan Budaya Jawa dalam Bidang Seni Arsitektur
Perkembangan agama Islam di Jawa semakin lama
semakin pesat. Pada abad ke-13 agama islam masuk secara teratur dan damai. Hal
ini karena ada pengaruh dari walisongo yang sanggup
mengubah mental spiritual pengikutnya tanpa mengurangi kegemaran mereka. Di
samping itu, mereka mempunya peradaban yang tinggi dan memperlihatkan sikap
toleransi yang sangat mengagumkan. Hal ini dibuktikan dengan seni arsitektur
yang mereka bangun, seperti seni arsitektur pada makam-makam ataupun pada
masjid-masjid. Begitu juga seni arsitektur pintu gerbang yang menghias bangunan
dengan bentuk candi bantar.[3]
Akulturasi Islam dan budaya Jawa dalam bidang
arsitektur sebenarnya sudah dapat dilihat sejak awal islam masuk di Jawa,
karena salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa dilakukan melalui karya seni
arsitektur. Sementara itu, sebelum Islam masuk, masyarakat jawa telah memliki
kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai
asli Jawa maupun yang telah dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Hal tersebut
dibuktikan dengan berdirinya berbagai jenis bangunan seperti candi, keraton,
benteng, kuburan, rumah pendopo, dan lain-lain.[4]
Oleh karena itu, islam masuk di Jawa keberadaan arsitekturnya telah berkembang.
Agar islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol-simbol islam
hadir dalam bingkai budaya dan konsep jawa yang kemudian memunculkan
kreativitas-kreativitas tanpa menghilangkan budaya tersebut.
Seni arsitektur yang banyak dijumpai di Jawa adalah
bangunan masjid. Sangat terlihat sekali bagaimana akulturasi islam dengan
budaya jawa dari bangunan masjid tersebut. Sebagai contoh adalah bangunan Menara
Masjid Qudus yang dibangun oleh Sunan Kudus. Bangunan menara ini mirip dengan meru
pada bangunan hindu, lawang kembar pada bangunan utama masjid, pintu
gapura, dan gapura yang mengelilingi halaman masjid yang kesemuanya bercorak
bangunan hindu.
Bentuk bangunan masjid kudus yang demikian
dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat hindu pada waktu itu untuk memeluk
agama islam. Di samping itu, bangunan tersebut menunjukkan keyakinan akan
kedigdayaan Sunan Kudus dalam menyebarkan ajaran islam. Bangunan menara kudus
dipercaya sebagai bangunan yang dibuat oleh Sunan Kudus dalam waktu semalam dan
terbuat dari sebuah batu merah yang terbungkus dalam sapu tangan yang berasal
dari Makkah.[5]
Tidak hanya masjid kudus yang memiliki
arsitektur bercorak hindu, akan tetapi kebanyakan masjid tradisional yang lain
pun menggunakan arsitektur yang mengakulturasikan antara ajaran islam dengan
budaya jawa. Sebagai contoh Masjid Demak, Masjid Giri, Masjid Sendang Dhuwur,
dan lain sebagainya.
Masjid tradisional memiliki beberapa ciri
khusus. Di antara ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Denah Empat
Persegi
Kebanyakan masjid-masjid tradisional di Jawa
masih berdenah mandapa. Mandapa merupakan istilah untuk suatu bagian
kuil agama hindu di India. Bentuk mandapa mempunyai denah persegi dan
dibangun di atas tanah.[6]
Istilah ini kemudian dilafalkan sebagai pendapa dalam bahasa jawa. Denah
bangunan yang persegi itu kemudian ditiru sebagai denah bangunan tempat-tempat
ibadah umat islam, yaitu masjid dan langgar.
2.
Bedug dan
Kentongan
Bedug dan Kenthongan sebenarnya sudah ada
sejak zaman pra islam. Bedug ini digunakan sebagai tanda bahaya, peringatan
perang dan hal mendesak lainnya pada masa kerajaan majapahit. Dibunyikannya
bedug juga digunakan untuk menandai tibanya waktu. Dalam bahasa jawa disebut
“wis wanci keteg” yang artinya sudah waktu siang.[7]
Hampir semua masjid lama di Indonesia
mempunyai bedug (tabuh) dan kentongan. Di jawa tengah biasanya kedua benda
tersebut terletak di serambi, sedangkan di Jawa Timur terletak di gapura.
Fungsi dari kedua benda itu untuk tanda dan isyarat bahwa waktu shalat telah
tiba. Di samping itu juga berfungsi sebagai sarana memanggil jama’ah untuk
melaksanakan shalat.
Sunan Kalijaga pernah memerintahkan kepada
Sunan Pandan Arang agar membuat bedug dan kentongan untuk memanggil orang-orang
agar ikut berjamaah di masjid. Di samping itu ada yang berpendapat bahwa
biasanya bedug itu berbunyi “dheng...dheng..dheng” yang merupakan kependekan
dari kata jawa “medheng” yang artinya muat/cukup. Adapun kentongan berbunyi
“thong....thong...thong..” yang merupakan kependekan dari kata “kothong” yang
berarti kosong. Maksudnya bahwa masjid atau langgar itu masih kosong dan
mengajak umat islam untuk shalat berjama’ah di masjid tersebut.
3.
Atap Tumpang
Jika diamati lebih lanjut, keadaan
masjid-masjid di Jawa kebanyakan bentuk atapnya bertingkat. Dengan demikian
identitas suatu masjid akan segera dapat diketahui dari atapnya yang dibuat
lancip keatas dan bertingkat-tingkat. Kadang-kadang atapnya terdiri dari dua,
tiga, empat, atau lima tingkat dan biasanya berjumlah ganjil.
Pertama kali terdapatnya bangunan yang bentuk
atapnya tumpang ialah bangunan Meru (kuil hindu) di masa pra islam. Atapnya
terdiri dari lima sampai sepuluh tingkatan dan atasnya ditutup dengan mustaka.
Terkait dengan hal tersebut, Soekmono mengatakan bahwa atap tumpang dianggap
sebagai bentuk perkembangan dari dua unsur berlainan yaitu atap candi yang
denahnya bujur sangkar dan selalu bersusun dan puncak stupa yang adakalanya
tersusun seperti payung-payung yang terbuka.
HAMKA menafsirkan bahwa atap yang demikian
mempunyai makna sebagai berikut :[8]
a.
Atap tingkat
paling bawah beserta lantainya melambangkan syari’ah serta amal perbuatan
manusia.
b.
Atap tingkat
dua melambangkan tariqah, yakni jalan untuk mencapai ridha Allah.
c.
Atap yang
ketiga melambangkan hakikat, yaitu ruh atau hakikatnya amal perbuatan
seseorang.
d.
Puncak atau
mustakanya melambangkan ma’rifat, yaitu tingkat mengenal Allah SWT.
4.
Benteng dan
Gapura
Benteng adalah pagar atau tembok keliling yang
melingkari bangunan masjid. Selain sebagai pengaman, benteng juga berfungsi
sebagai pemisah antara bagian yang sakral dan non sakral (pemisah antara
lingkungan masjid dan bukan masjid). Oleh karena itu, jika seseorang sudah
memasuki benteng masjid hendaklah sudah dalam keadaan suci lahir batin,
terutama dalam tutur kata, perbuatan, dan lain sebagainya.
Aturan yang berlaku di masjid ini sebenarnya
hampir sama dengan aturan yang ada di Meru.Benteng dan gapura sudah ada sejak
zaman pra Islam. Di Meru juga terdapat gapura ataupun benteng yang
membatasinya. Barangsiapa yang masuk di pura tersebut maka harus dalam keadaan
suci. Perempuan yang sedang haid juga tidak diperkenankan memasuki area
tersebut.
5.
Makam
Makam atau yang disebut dengan kuburan banyak
dijumpai di masjid-masjid tradisional. Makam terletak di belakang mihrab,
seperti halnya di masjid wali di Demak, Kudus, Kali Nyamat Jepara dan
sebagainya. Yang dimakamkan di situ ialah para pejuang islam dan para syuhada’
atau keluarga yang masih ada hubungannya dengan keduanya.
C.
Masjid Agung
Demak
Demak merupakan pelabuhan dan ibukota
pemerintahan muslim terpenting di Pesisir Jawa pada abad XVI. Masjid Agung
Demak didirikan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1478 (sebelum zaman kejayaan
kerajaan Demak), salah satu dari sembilan wali (Wali Sanga). Meskipun sebelum
zaman kejayaan Demak, namun masjid megah dan indah ini dapat dibangun, karena
kebangkitan kota-kota pesisir utara jawa pada abad XV dan XVI, bermukimnya
komunitas Cina, awal islamisasi dan juga terbentuknya kesultanan Demak.
Arsitektur Masjid Agung Demak adalah contoh
dari masjid tradisional Jawa di mana tidak memiliki kubah seperti umumnya
masjid modern kini. Bentuk bangunan atap berbentuk limas ditopang delapan tiang
yang disebut Saka Majapahit. Atap ini bersusun-susun dan hanya dikenal di
kepulauan Nusantara dari Aceh hingga Maluku. Bentuk bangunan Masjid Agung Demak
berbeda dari kelaziman pada zaman itu, di mana mengadopsi arsitektur
lokal yang berkembang di masyarakat meliputi joglo yang memaksimalkan
bentuk-bentuk limas dengan berbagai dinamikanya. Atap limas Masjid Agung Demak
terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan Iman, Islam dan Ihsan.
Masjid Agung Demak mempunyai bangunan-bangunan
induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka
guru, yang berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal.
Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Masjid Agung Demak juga mempunyai
“Pintu Bledeg”, yang bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang
berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M atau
887 H.
Material Masjid Demak didominasi kayu jati dan
beratapkan sirap ditopang 4 tiang utama (soko guru). Bangunan masjid
terbuat dari kayu jati berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31
m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh 4 buah tiang kayu besar (soko tatal atau
soko guru) yang dibuat oleh empat wali dari Wali Songo. Keseluruhan bangunan
ditopang 128 soko, empat di antaranya soko guru yang menjadi penyangga utama
bangunan masjid. Jumlah tiang penyangga masjid 50 buah, sebanyak 28 penyangga
serambi dan 34 tiang penyangga tatak rambat, sedang tiang keliling sebanyak 16
buah.
Bangunan masjid sejak awal berdirinya
mengalami perbaikan dan pemugaran. Terakhir terjadi tahun 1987 dengan bantuan
dana dari APBN dan dari negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam
(OKI) karena mengakui keberadaan Masjid Agung Demak sebagai monumen bagi
masyarakat muslim yang memiliki arsitektur unik sesuai dengan dinamika
zamannya. Menurut cerita rakyat tiang
utama dan atap sirap masjid tersebut adalah hasil karya para wali, yaitu Sunan
Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Salah satu soko
guru, hasil karya Sunan Kalijaga tidak terbuat dari kayu utuh sebagaimana
layaknya tiang utama, melainkan dari potongan kayu (tatal) yang disusun
dan diikat. Bagi masyarakat Demak dan sekitarnya terdapat cerita bahwa salah
satu atap sirap Masjid Agung Demak terbuat dari intip (kerak nasi liwet)
hasil buatan Sunan Kalijaga.
BAB III
KESIMPULAN
Arsitektur Islam adalah
sebuah karya seni bangunan yang terpancar dari aspek fisik dan metafisik
bangunan melalui konsep pemikiran islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah
Nabi, Keluarga Nabi, Sahabat, para Ulama maupun cendikiawan muslim. Akulturasi
Islam dan budaya Jawa dalam bidang arsitektur sudah dapat dilihat sejak awal
islam masuk di Jawa, karena salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa
dilakukan melalui karya seni arsitektur.
Akulturasi ini
hanya mungkin terjadi karena karakteristik Islam yang bersifat Universal.
Perpaduan antara seni budaya Indonesia dengan budaya Islam terdapat di berbagai
aspek budaya dalam kompleksitas masyarakat Indonesia yang heterogen dan
terutama pada seni bangunan sebagaimana yang diuraikan lebih jauh dalam makalah
ini adalah dapat dilihat dari melalu bangunan masjid, makam, dan bangunan
lainnya. Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam diberbagai tempat merupakan
hasil akulturasi dengan budaya lokal setempat. Hal ini terlihat dari atap
masjid, menara, dan letak masjid. Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat
gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan
bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Arsitektur Islam. http://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_Islam,
diakses pada tanggal 27 Mei 2012 pukul 12.52
Hafiyudin, Ikhsan. Sejarah
Bedug, http://asal-usul
motivasi.blogspot.com/2011/ 03/sejarah-bedug.html, diakses pada tanggal 27
Mei 2012 pukul 15.08.
Jamil, Abdul dkk. 2000. Islam dan
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Mulia, Bunga. Definisi
Arsitektur Menurut Para Ahli, http://www.scribd.com/
doc/57673058/Definisi-Arsitektur-Menurut-Para-Ahli, diakses pada tanggal 27
Mei 2012 pukul 12.47.
Mundzirin dkk. 2005. Islam dan
Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Situmorang, Oloan.
1993. Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Angkasa
Sumalyo, Yulianto.
2006. Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. Yogyakarta: Gajah
Mada Press
Wiryoprawiro, Zein M.
1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: Bina Ilm
[1] Djauhari Sumintardjo, dalam Bunga Mulia, Definisi
Arsitektur Menurut Para Ahli, http://www.scribd.com/doc/57673058/Definisi-Arsitektur-Menurut-Para-Ahli,
diakses pada tanggal 27 Mei 2012 pukul 12.47.
[2]Arsitektur Islam, http://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_Islam,
diakses pada tanggal 27 Mei 2012 pukul 12.52
[3] Mundzirin dkk,
Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005),
halaman 149.
[6] Mundzirin dkk,
Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
2005), halaman 151.
[7] Ikhsan Hafiyudin, Sejarah Bedug, http://asal-usul
motivasi.blogspot.com/2011/03/ sejarah-bedug.html, diakses pada tanggal 27
Mei 2012 pukul 15.08.
[8] Mundzirin dkk,
Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
2005), halaman 154.


Posting Komentar